pexels-photo-32283280-32283280.jpg

Kualitas Udara Kota Makassar (2001-2024)

1. Pendahuluan

Analisis ini dilakukan untuk mengkaji hubungan antara perkembangan wilayah urban (urban expansion) dengan frekuensi AOD (Aerosol Optical Depth) tinggi sebagai indikator kualitas udara di Kota Makassar dalam rentang waktu 2001 hingga 2024. Data diperoleh dari pengolahan citra satelit menggunakan Google Earth Engine, dengan threshold AOD 0.5 sebagai batas kualitas udara yang dianggap buruk.

Dalam rentang waktu antara tahun 2001 hingga 2024, wilayah urban Kota Makassar mengalami pertumbuhan yang mencolok, terutama setelah satu dekade pertama abad ke-21. Pada awal periode, luas wilayah perkotaan tercatat sekitar 120,3 km² dan relatif tidak mengalami perubahan berarti hingga tahun 2010. Fase ini mencerminkan kondisi kota yang masih terkonsentrasi di pusat, dengan ekspansi ruang yang terbatas.

Namun, memasuki tahun-tahun setelah 2010, terjadi percepatan pertumbuhan yang lebih dinamis. Wilayah urban mulai meluas secara bertahap, mencerminkan adanya tekanan pembangunan yang semakin kuat, baik karena pertumbuhan jumlah penduduk maupun karena perubahan tata guna lahan. Tren ini semakin nyata setelah tahun 2015, ketika wilayah perkotaan berkembang lebih cepat, dan akhirnya mencapai sekitar 135,1 km² pada tahun 2024.

Perluasan ini dapat dimaknai sebagai proses urbanisasi yang mengarah pada ekspansi fisik kota ke arah pinggiran. Konversi lahan pertanian, semak belukar, atau lahan terbuka lainnya menjadi kawasan terbangun menjadi salah satu ciri dominan. Perkembangan ini kemungkinan besar juga dipengaruhi oleh peningkatan infrastruktur, investasi sektor properti, dan integrasi wilayah-wilayah sekitar ke dalam struktur metropolitan Makassar.

Pertumbuhan wilayah urban yang demikian menunjukkan bahwa Kota Makassar tengah mengalami transformasi spasial yang signifikan, berpindah dari kota dengan struktur terpusat menjadi kota yang lebih menyebar secara horizontal, seiring dengan peningkatan peran ekonominya sebagai pusat kegiatan regional di Indonesia Timur.

2. Frekuensi AOD Tinggi

Frekuensi kejadian AOD tinggi (yaitu nilai AOD yang melebihi ambang 0,5) mencerminkan kondisi kualitas udara yang buruk karena tingginya konsentrasi partikel aerosol di atmosfer. Dalam kurun waktu 2001 hingga 2024, frekuensi AOD tinggi di Kota Makassar menunjukkan pola yang fluktuatif dari tahun ke tahun, dengan tidak ada kecenderungan peningkatan yang konsisten meskipun wilayah urban mengalami pertumbuhan yang signifikan.

Puncak kejadian AOD tinggi tercatat terutama pada tahun 2003 dan 2015, masing-masing mendekati atau melebihi 15 hari dalam satu tahun. Kenaikan tajam ini dapat diasosiasikan dengan peristiwa-peristiwa berskala regional seperti kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di pulau-pulau besar Indonesia, yang sering kali menyebabkan sebaran asap lintas wilayah akibat angin muson. Kota Makassar sebagai kota pesisir di bagian barat daya Sulawesi sangat mungkin menerima limpahan aerosol dari Kalimantan atau Sumatera ketika kondisi atmosfer mendukung pergerakan massa udara dari barat.

Selain itu, tingginya nilai AOD juga dapat dipengaruhi oleh faktor lokal seperti peningkatan aktivitas transportasi, pembakaran sampah terbuka, kegiatan industri, serta kondisi meteorologis seperti musim kemarau yang panjang dan rendahnya curah hujan, yang menyebabkan akumulasi partikel di udara bertahan lebih lama. Dalam konteks Makassar, urbanisasi yang meningkat tidak selalu menghasilkan peningkatan AOD secara langsung, karena pertumbuhan wilayah urban tidak selalu diiringi dengan peningkatan emisi lokal yang signifikan, atau bisa jadi karena adanya kebijakan pengelolaan lingkungan dan tata ruang yang mampu meredam potensi degradasi kualitas udara.

Fakta bahwa fluktuasi AOD tinggi tidak selaras secara linear dengan perluasan wilayah urban juga menunjukkan bahwa penyebab utama buruknya kualitas udara di Makassar bersifat multifaktorial. Selain aspek pembangunan fisik, pengaruh eksternal seperti kondisi iklim regional, arah angin, hingga aktivitas antropogenik di wilayah lain turut memainkan peran penting. Ini memperkuat pentingnya pendekatan spasial dan temporal dalam menganalisis AOD, karena tidak cukup hanya dengan melihat pertumbuhan kota secara lokal, tetapi juga perlu mempertimbangkan dinamika atmosfer yang lebih luas.

Dengan demikian, pemantauan AOD dari tahun ke tahun tetap menjadi indikator penting dalam mengawasi kesehatan lingkungan udara perkotaan, namun interpretasinya perlu disandingkan dengan konteks spasial yang lebih besar dan variabel iklim yang mendasari.

3. Analisis dan Interpretasi

Kondisi kualitas udara yang tergambarkan melalui frekuensi AOD tinggi dan tren pertumbuhan wilayah urban memberikan gambaran yang kompleks mengenai dinamika lingkungan perkotaan di Makassar. Meskipun wilayah urban secara konsisten mengalami ekspansi selama lebih dari dua dekade terakhir, tidak terdapat hubungan langsung dan linier antara luasnya area terbangun dengan tingginya frekuensi kejadian AOD.

Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan kota secara spasial tidak serta-merta menyebabkan penurunan kualitas udara. Salah satu penjelasan yang mungkin adalah bahwa ekspansi kota Makassar berlangsung dengan intensitas polusi yang relatif terkendali, atau terjadi dalam konteks pergeseran pola aktivitas masyarakat dan ekonomi menuju sektor-sektor yang lebih rendah emisi. Misalnya, jika pertumbuhan urban didominasi oleh pengembangan permukiman atau sektor jasa daripada industri berat, maka dampaknya terhadap konsentrasi aerosol mungkin tidak terlalu besar.

Namun, variabilitas AOD yang cukup tajam pada tahun-tahun tertentu memperlihatkan bahwa ada faktor-faktor lain yang lebih dominan dalam menentukan konsentrasi partikel aerosol di atmosfer. Salah satu faktor kunci adalah pengaruh regional dari kebakaran hutan yang secara periodik terjadi di Indonesia, terutama di Kalimantan dan Sumatera. Asap hasil pembakaran lahan gambut dan hutan dapat terdistribusi secara luas, tergantung pada arah angin, tekanan udara, dan stabilitas atmosfer. Kota Makassar, meskipun tidak menjadi pusat dari aktivitas tersebut, tetap dapat terdampak akibat transportasi lintas wilayah dari partikel-partikel aerosol tersebut.

Selain faktor kebakaran hutan, kondisi meteorologis juga memiliki pengaruh besar terhadap konsentrasi AOD. Musim kemarau yang panjang, kelembaban udara yang rendah, dan kecepatan angin yang lemah dapat memperparah akumulasi partikel di udara. Sebaliknya, musim hujan atau hujan deras dapat berperan sebagai mekanisme pembersihan atmosfer, menurunkan nilai AOD secara signifikan melalui proses pencucian atmosfer (wet deposition).

Di sisi lain, dalam konteks lokal Makassar, terdapat kemungkinan bahwa kontribusi aerosol dari sumber antropogenik seperti transportasi, pembakaran sampah, dan aktivitas konstruksi masih relatif terkendali atau bersifat musiman. Dengan kata lain, fluktuasi AOD tinggi lebih mencerminkan variabilitas eksternal dan atmosferik daripada menjadi cerminan langsung dari tekanan urban internal.

Temuan ini memperlihatkan bahwa pemahaman terhadap kualitas udara tidak dapat dipisahkan dari konteks ekologi regional dan dinamika atmosfer yang lebih luas. Urbanisasi memang memainkan peran, namun bukan satu-satunya variabel penentu. Oleh karena itu, pendekatan pengelolaan lingkungan udara di kota-kota seperti Makassar perlu melibatkan sistem pemantauan terpadu yang mencakup baik faktor lokal maupun pengaruh lintas batas wilayah


4. Kesimpulan

Analisis spasial dan temporal terhadap konsentrasi aerosol optik (AOD) dan perkembangan wilayah urban Kota Makassar selama periode 2001 hingga 2024 menunjukkan relasi yang tidak bersifat linier maupun deterministik. Wilayah urban mengalami ekspansi yang konsisten dari sekitar 120 km² menjadi lebih dari 135 km² dalam dua dekade terakhir, menandakan pertumbuhan fisik kota yang terus berlanjut. Namun, peningkatan wilayah terbangun ini tidak secara langsung berkorelasi dengan naiknya frekuensi kejadian AOD tinggi, yang justru menunjukkan pola fluktuatif.

Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas udara di Makassar tidak sepenuhnya ditentukan oleh proses urbanisasi lokal. Sebaliknya, terdapat faktor-faktor eksternal dan atmosferik yang secara signifikan mempengaruhi konsentrasi aerosol di udara. Kebakaran hutan dan lahan di wilayah lain Indonesia, kondisi meteorologis musiman, serta arah angin dan kelembaban udara merupakan determinan penting dalam variabilitas AOD tahunan. Dalam beberapa tahun seperti 2003 dan 2015, lonjakan AOD tinggi kemungkinan besar berkaitan dengan peristiwa kebakaran besar berskala regional yang menyebabkan asap terbawa hingga ke wilayah Makassar.

Kesimpulan ini memperlihatkan pentingnya memahami dinamika kualitas udara dalam pendekatan yang lebih luas dari sekadar faktor lokal. Pengelolaan lingkungan perkotaan tidak hanya harus mempertimbangkan pembangunan fisik dan emisi internal, tetapi juga perlu menyadari bahwa sistem atmosfer bekerja dalam skala lintas batas. Oleh karena itu, dibutuhkan sistem pemantauan yang tidak hanya bersifat lokal, tetapi juga terintegrasi dengan data satelit dan pengamatan regional agar kebijakan pengendalian pencemaran udara dapat dirumuskan secara lebih akurat dan adaptif.

Dengan demikian, hasil kajian ini tidak hanya relevan dalam konteks ilmiah, tetapi juga memiliki implikasi langsung terhadap perencanaan tata ruang, kebijakan lingkungan, dan strategi mitigasi polusi udara di kawasan perkotaan yang tumbuh cepat seperti Makassar.


5. Rekomendasi

Berdasarkan temuan dan interpretasi dalam analisis ini, berikut adalah beberapa rekomendasi yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah daerah, perencana kota, dan lembaga lingkungan:

  1. Mengintegrasikan Pemantauan AOD ke dalam Sistem Monitoring Kualitas Udara Daerah
    Data AOD dari satelit, seperti yang disediakan oleh Google Earth Engine, sebaiknya digunakan secara reguler untuk melengkapi sistem pemantauan berbasis darat. Integrasi ini akan membantu mengidentifikasi tren polusi udara secara spasial dan memberikan peringatan dini terhadap kejadian udara buruk.
  2. Mengembangkan Sistem Peringatan Dini Berbasis Musim dan Arah Angin
    Mengingat tingginya pengaruh kebakaran hutan di luar wilayah terhadap kualitas udara di Makassar, penting untuk membangun sistem prediksi yang mempertimbangkan pola muson, arah angin, dan hotspot karhutla regional untuk memitigasi dampaknya terhadap kesehatan masyarakat.
  3. Mendorong Tata Kelola Urbanisasi Berkelanjutan
    Pertumbuhan wilayah kota harus diarahkan untuk menghindari pola urban sprawl yang tidak terkendali. Perencanaan kota berbasis transportasi umum, ruang terbuka hijau, dan efisiensi penggunaan lahan perlu diperkuat agar pertumbuhan urban tidak menjadi beban tambahan bagi kualitas udara.
  4. Melakukan Kajian Lanjutan terhadap Sumber Lokal Aerosol
    Penelitian mendalam terkait sumber-sumber emisi lokal seperti pembakaran sampah, transportasi, dan konstruksi diperlukan untuk mengukur kontribusinya terhadap AOD secara akurat, sehingga kebijakan pengurangan emisi dapat lebih terarah dan efektif.
  5. Memperkuat Kolaborasi Regional antar Wilayah Terdampak Polusi Lintas Batas
    Karena sumber utama kejadian AOD tinggi bersifat lintas wilayah, diperlukan kerja sama antar daerah dan bahkan antar provinsi untuk mengendalikan penyebab utama seperti kebakaran hutan dan aktivitas industri yang berdampak luas.
  6. Meningkatkan Literasi Publik dan Kesadaran tentang Kualitas Udara
    Edukasi publik mengenai bahaya paparan aerosol, pentingnya kualitas udara bersih, dan cara-cara mitigasi di tingkat rumah tangga dan komunitas dapat memperkuat ketahanan sosial terhadap polusi udara jangka pendek maupun panjang

Scroll to Top